Sore itu Matahari masih menyisakan sepenggal cahaya kekuningan di ufuk barat. Sebuah pemandangan langit yang bersahaja, sama seperti ketenangan yang ada di sebuah gang bernama Al-Anwar, di Jalan Pangeran Tubagus Angke, Rt. 001 Rw. 05, Kelurahan Angke, Tambora, Jakarta Barat.
Gang yang kini hanya berukuran sekitar 1,75 meter tersebut berdiri Masjid Angke Al Anwar, sebuah bangunan bersejarah terkait perjuangan para pahlawan dalam usaha membantu Fatahillah menghadapi VOC, beberapa abad silam. Di tempat inilah banyak tersimpan cerita sejarah, khususnya salah seorang yang tidak bisa lepas dari peristiwa itu, Tubagus Angke, seorang bangsawan Banten bergelar pangeran.
Perasaan nyaman segera terasa ketika memasuki masjid ini. Tak ayal di tempat ini orang ingin berlama-lama ibadah di dalam masjid. Sore itu, saat ashar telah tiba, beberapa orang terlihat salat dengan khusuknya. Di sudut-sudut, satu pemuda yang dari Garut kota jawa barat sedang ithiqab mengaji.
Masjid Angke, memang dikenal orang sebagai masjid keramat, selain dari sisi sejarahnya. Ada sesuatu yang dapat menjadi magnet bagi orang untuk beribadah di tempat ini.
"Yang jelas, dulu, tempat ini menjadi basis pertahanan dan tempat berkumpulnya tempat berjuang," kata Lutfi Ramli (50), keturunan ke-11 Tubagus Angke saat mengawali perbincangan dengan kepala suku kesbangpol Jakarta Barat H.Dirhamnulgraha yang habis melaksanakan solat ashar, Senin (06/3).
Dulunya, kawasan itu merupakan daerah perbukitan dengan sekitarnya adalah hutan belantara. Tempat ini pula menjadi lokasi persembunyian para pejuang yang datang dari berbagai wilayah, seperti Banten, Demak, Mataram dan sebagainya. Mereka bersatu, dalam rangka menghadapi kekuasaan VOC di Batavia.
"Sebelum para pejuang datang ke mari, di sini memang sudah ada perkampungan kecil, perkampungan Bali. Mereka adalah pasukan bertombak yang diutus dari kerajaan di Bali, dengan tokoh terkenalnya Gusti Ketut Badodo. Makanya di sini juga disebut Kampung Gusti," terangnya.
Semakin banyak para pejuang yang berkumpul di wilayah itu pada saat era putra-putri Tubagus Angke, yakni pada abad ke-17. Terlebih, saat meletusnya pemberontakan etnis Cina pada 1740, dimana terjadi pembantaian etnis Cina oleh VOC, yang dikenal sebagai peristiwa penjagalan orang-orang cina oleh VOC dibawah pimpinan Gubernur General Andrian Valckenier.
Kala itu, banyak mayat-mayat orang Cina bergelimpangan dan mengapung di sekitar sungai Angke. Sejak itu banyak orang Cina yang turut bergabung dengan para pejuang di tempat itu. Bahkan, tidak sedikit etnis Cina yang kemudian memeluk Islam.
"Setelah berkumpul itu, para pejuang kemudian bermusyawarah kemudian dibangunlah masjid ini. Selain menjadi tempat peribadatan, masjid ini pun dijadikan sebagai basis perjuangan,"kata Lutfi.
*Gabungan empat unsur budaya
Lutfi Ramli menuturkan, proses pembangunan masjid tersebut dilatari oleh semangat kebersamaan dengan cita-cita yang sama pula, melawan kolonialisasi di Batavia saat itu.
Maka tidak heran terjadi akulturasi kebudayaan, yang tercermin dalam arsitektur masjid tersebut. "Para pejuang mempercayakan kepada orang Cina beragama muslim bernama Syeh Liong Tan sebagai arsitektur pembangunan masjid ini. Yang makamnya ada di depan mimbar masjid, Sedangkan donaturnya adalah seorang wanita Cina dari suku Tartar bernama Tan Nio yang bersuamikan bangsawan dari Banten,"katanya.
Setidaknya ada empat ornamen budaya berbeda dalam pembangunan masjid ini. Bagian karpusan atau di tiap sisi genteng, mengusung gaya lengkungan khas Cina. Hal ini tak terlepas dari adanya pejuang-pejuang etnis Cina yang bergabung di sana.
Sementara, ornamen bergaya eropa tampak dari bentuk uliran jeruji di masing-masing jendela. Kemudian adanya empat soko guru menandakan nuansa Jawa yang kental. Sedangkan nuansa Bali bisa dilihat dari bentuk mimbar (tempat imam) yang mirip dengan tempat penyembahan di agama Hindu.
"Yang perlu diketahui, masjid ini dibuat pada 1751, bukan 1761 yang saat ini tersebar di internet. Ini yang harus diluruskan," imbuh Lutfi.
Dijelaskan Lutfi, "dalam pembangunan masjid ini, para pejuang telah memperhitungkan banyak hal. Pertama, sesuai fungsinya sebagai tempat pengintaian, masjid ini awalnya dibangun dengan dua lantai dengan lantai,"Tutupnya (Lutfi).
Post a Comment
0Comments
3/related/default