PEWARTA-TAMBORA.COM, JAKARTA - Beberapa Organisasi Wartawan Nasional mendukung penuh upaya penyelamatan
kebebasan dan kemerdekaan pers yang dikumandangkan Ketua Umum Persatuan Pewarta
Warga Indonesia (PPWI), Wilson Lalengke.
Organisasi pers Nasional tersebut antara lain; KWRI, SPRI, IPJI, FPII, PWRI,
KO-WAPPI, AWI, AWPI, AWDI, AKRINDO, SEKAT-RI dan sejumlah organisasi pers Nasional
lainnya siap berikan dukungan penuh dalam memperjuangkan HAK umat pers
Indonesia.
Dalam gugatannya yang masih bergulir di PN Jakarta Pusat terhadap Dewan Pers
atas kriminalisasi dan diskriminasi terkait Uji Kompetensi Wartawan (UKW),
Verifikasi media, pembredelan media massa serta UU ITE yang dianggap sudah
keluar dari koridor pers dan tidak sesuai dengan UUD’45 dan UU Pers Nomor 14
tahun 1999.
Wilson merasa miris melihat fakta yang terjadi terhadap para
wartawan/jurnalis Indonesia yang menjadi korban dalam menjalankan tugasnya.
Ia menilai bahwa berbagai kebijakan Dewan Pers telah menjadi sumber petaka
dan masalah dalam menegakkan kemerdekaan pers di negeri ini.
Menurutnya, Dewan Pers tidak ubahnya mahluk pembasmi wartawan kritis yang
berjuang untuk keadilan dan kesejahteraan masyarakat.
“Kriminalisasi wartawan yang terjadi dimana-mana umumnya dipicu oleh
kebijakan Dewan Pers yang terkesan hendak membasmi wartawan kritis dan pejuang
masyarakat. Hanya di Indonesia, wartawan tanpa sertifikat UKW (Uji Kompetensi
Wartawan) dianggap kriminal,” ujar lulusan PPRA-48 Lemhannas RI tahun 2012 itu.
Ratusan wartawan, lanjut Wilson, telah menjadi pesakitan akibat
kriminalisasi atas karya tulisnya, baik berupa berita atau laporan, artikel
opini, maupun tulisan deskriptif.
“Bahkan beberapa wartawan tewas oleh kebiadaban kebijakan lembaga yang
seharusnya mengayomi dan melindungi pekerja pers,” ujarnya dengan nada geram.
Wilson mengaku kesabaran para wartawan yang telah menjadi korban keganasan
aparat yang diback-up oleh Dewan Pers sudah sampai diambang batas.
“Kita tidak bisa membiarkan kondisi ini terus-menerus terjadi. Sebagian dari
teman-teman wartawan itu telah menjalani persidangan dan menerima hukuman badan
dengan pasrah, bahkan rela mati demi memperjuangkan masyarakatnya melalui
jurnalisme. Kita harus menghentikan kekejian dan kezaliman lembaga Dewan Pers
ini,” serunya berapi-api.
Pria yang sempat mengenyam pendidikan di tiga universitas terbaik di Eropa
itu merasa sangat sedih melihat perlakuan aparat terhadap wartawan.
Dalam banyak kasus, hasil investigasi dugaan korupsi pejabat, perilaku KKN
aparat dan pengusaha, penyalahgunaan wewenang, dan lain-lain, yang
dipublikasikan di media-media massa, selalu dianggap sebagai pencemaran nama
baik.
Aparat penegak hukum bukannya bergerak menyelidiki laporan wartawan yang
dipublikasikan itu, tapi justru langsung menangkap wartawan sipenulis
beritanya.
“Padahal undang-undang pers sebagai payung perlindungan hukum bagi pekerja
pers sudah ada, tapi tidak dilaksanakan. Parahnya lagi, Dewan Pers lebih
memilih cuci tangan, tidak ingin repot-repot membela wartawan, langsung saja
diserahkan ke polisi untuk diproses semau-maunya polisi,” jelas Lalengke yang
sudah melatih ribuan anggota TNI, Polri, PNS, guru, dosen, mahasiswa, wartawan,
karang taruna dan masyarakat umum di bidang jurnalistik ini.
Sungguh miris dan prihatin, kasus tewasnya wartawan Sinar Pagi Baru,
Muhammad Yusuf di Lapas Kotabaru, 10 Juni 2018 lalu hanyalah satu kisah
memilukan dari ratusan jejeran mayat wartawan Indonesia yang teraniaya karena
tidak dilindungi seperti yang diamanatkan oleh UU No 40 tahun 1999.
“Perlindungan terhadap warga negara yang berprofesi jurnalis masih rendah.
Delapan belas tahun usia Undang-Undang No. 40 tahun 1999, tetapi selama ini
hampir tidak diterapkan sama sekali,” sesal Wilson
Post a Comment
0Comments
3/related/default