Bisa dibilang Kampung Jembatan Lima yang ada di Jakarta itu terbilang
unik. Selain karena sejarahnya juga kondisi kampung tersebut sampai kini.
Sesuai dengan namanya Jembatan Lima, konon kabarnya di daerah ini dahulunya ada
lima buah jembatan yang dilalui oleh sungai Jembatan Lima. Adapun kelima
jembatan tersebut ialah :
- jembatan yang ada di Jalan Petak Serani, sekarang bernama Jalan
Hasyim Ashari;
- jembatan yang ada di daerah Kedung (Jembatan Kedung), sekarang
bioskop Dewi yang termasuk wilayah Kelurahan Tambora;
- jembatan yang ada di muka Jalan Petuakan;
- jembatan yang ada di Kampung Masjid sekarang Jalan Sawah Lio 2
- jembatan yang ada di Kampung Sawah Gang Guru Mansyur, sekarang Jalan
Sawah Lio 1.
Jembatan yang ada di Jalan Sawah Lio 1 dahulunya merupakan jembatan
yang terbesar. Namun sekarang kelima jembatan itu tidak ada lagi, bahkan
sungainya pun demikian. selain sungai Jembatan Lima, di kampung ini dialiri
pula oleh sungai Cibubur. Dinamakan cibubur karena sungai ini seperti bubur,
kotor, dan banyak lumpur.
Di wilayah Jembatan Lima dahulunya terdapat nama kampung, jalan, atau
gang yang sekarang namanya ada yang sudah hilang misalnya Kampung Sawah Lio,
Patuakan, Kerendang, Petak Serani, Gudang Bandung, Teratai, Tambora, Gang
Laksa, Gang Daging, dan lain-lain.
Dinamakan sawah Lio karena dahulunya selain ada sawah juga terdapat
tempat pembakaran batu bata (lio) yang tempatnya dekat jembatan. Kampung sawah
Lio wilayahnya meliputi Kampung, sawah Gang Guru Mansur dan Kampung Sawah
Masjid.
Disebut Kampung sawah Gang Guru Mansur karena disana tinggal seorang
tokoh dan guru agama lslam bernama Kiyai Haji Moch. Mansur dan Kampung Sawah
Masjid karena terdapat Masjid Al Mansur.
Kampung Sawah Gang Guru Mansur sekarang bernama Jalan Sawah Lio 1,
sedangkan kampung Sawah Masjid menjadi Jalan Sawah Lio 2. Di Kampung Sawah Gang
Guru Mansur terdapat sebuah gang yang disebut Gang Laksa, karena disana tinggal
beberapa orang kaya yang mempunyai uang berlaksa-laksa (berjuta-juta). Para
jutawan tersebul ialah H. Djakarta pemilik empang-empang yang ada di daerah
Pasar lkan dan H. Tosim pemilik rumah-rumah sewaan.
Di Jembatan Lima dahulunya ada kampung yang selalu tergenang/terendam
air (banjir) katau musim hujan, oleh sebab itu disebut kampung Kerendang.
Adapun dinamakan kampung Patuakan karena disana tempat mangkal penjual minuman
tuak.
Nama petak Serani dikarenakan dahulunya ada petak-petak yang dihuni
oleh orang-orang Serani (Kristen). Selain terdapat sawah, dikampung Jembatan
Lima ada rawa-rawa yang dipenuhi oleh bunga teratai, sehingga oleh penduduk
tempat ini disebut kampung Teratai.
Nama Tambora karena tiap pagi di asrama tentara terdengar suara tambur dan
disebut jalan Gudang Bandung karena dahulunya ditempat itu ada gudang tempat
penyimpanan barang-barang yang akan dikirim dengan kereta api ke Bandung.
Gang Daging dan Gang Kiarapun dahulunya mempunyai nama tersendiri,
disebut Gang Daging karena di gang itu sebagian besar penghuninya tukang-tukang
daging sedangkan Gang Kiara karena disana ada pohon kiara.
Kampung Jembatan Lima pada masa pemerintahan Belanda masuk kawedanan
Penjaringan kelurahan Angke Duri, dan yang menjadi kepala kampung di jembatan Lima
pada waktu itu adalah Bek Akhir, Bek Latip dan Bek Marzuki.
Pada masa pendudukan Jepang kampung Jembatan Lima masuk wilayah
Penjaringan Son (kecamatan) dan kelurahan Angke Duri. Pada masa pendudukan
Jepang yang menjadi kepala kampung ialah bek Ramadan.
Pada masa kemerdekaan wilayah Jembatan lima dibagi atas 3 kelurahan
yaitu : Kelurahan Tambora, Kelurahan Jembatan Lima dan Kelurahan Pekojan.
Adapun yang menjabat sebagai kepala kampung ialah bek Salamun.
Dahulu kampung Jembatan Lima masih merupakan hutan yang ditumbuhi oleh
bermacam-macam tanaman yaitu pohon kelapa, bambu, jati, sawo, rambutan, mangga
dan lain-lain. Penduduknya jarang dan dapat dihitung dengan jari, tinggal
berkelompok-kelompok dan tidak jauh dari kebun mereka.
Mata pencahariannya ialah bertani dan berdagang buah-buahan. Kampung
ini sulit untuk dihubungi orang-orang dari luar karena jalan-jalan yang ada
disana masih berupa jalan setapak. Baru setelah tahun 1920-an datang
orang-orang dari luar yaitu dari Banten. Mereka merupakan orang-orang dari luar
pertama kali tiba di Jembatan Lima, karena letaknya tidak begitu jauh dari
tempat tinggal mereka dan transportasi ke Jembatan Lima dapat dicapai dengan
kereta api.
Orang-orang dari Banten ini tinggal di tanah wakaf yaitu di Gang Kiara.
Mereka mencari nafkah dengan menjadi kuli panggul di stasiun Angke Duri dan
Beos atau di pasar-pasar. Tetapi setelah transportasi di Jembatan Lima lancer
karena mulai adanya jalan raya yang menghubungkan daerah itu dengan
tempat-tempat lainnya maka berdatanganlah orang-orang dari luar yaitu dari
daerah Bogor, Cirebon, dan Tasik Malaya.
Mereka mencari nafkah dengan berdagang makanan dan barang-barang
kerajinan misalnya ; Orang-orang Bogor berdagang nasi dan kopi; Orang-orang
dari Cirebon berdagang gado-gado, orang-orang Tasik Malaya dagang barang-barang
kerajinan seperti payung, kelom geulis dan tas. Sedangkan Orang-orang Tegal
dagang nasi di pasar.
Orang Betawi sendiri bekerja di toko-toko atau perusahaan-perusahan
swasta, ada yang menjadi pelayan toko, juru tulis, jaga malam atau mandor.
Sejak adanya pesantren di kampung Sawah Lio yang dikelola oleh Kyai
Haji Moch. Mansur maka Jembatan Lima mulai kedatangan orang-orang dari daerah
Sumatra yaitu dari Lampung, Palembang dan Padang.
Mereka datang ke Jembatan Lima hanya untuk menuntut ilmu di Pesantren
K.H. Moch. Mansur, kecuali orang Padang untuk menyambung hidupnya berjualan
kopiah di pasar Jembatan Lima. Orang-orang Cina tidak ketinggalan pula datang
ke Jembatan Lima, mula-mula hanya tiga keluarga. Mereka tinggal di Kampung
Sawah Lio, membuka warung-warung untuk kebutuhan sehari-hari.
Lama kelamaan jumlah mereka yang tinggal di kampung Jembatan Lima
menjadi meningkat sehingga penduduk aslinya banyak yang terdesak, menjual rumah
mereka ke orang Cina dan mereka sendiri pindah kedaerah Tanah Abang dan
Kebayoran Lama.
Suasana kampung, dimana udara yang sejuk dan nyaman banyak pohon-pohon
rindang serta rumah penduduk yang masih jarang dahulu masih dapat kita jumpai
di kampung Jembatan Lima. Tetapi sekarang, keadaan yang seperti itu tidak ada
kita jumpai iagi, yang ada hanyalah tempat-tempat usaha dan hiburan berderet
disekitar Jalan K.H. Moch. Mansur.
Bangunan-bangunan lama yang ada disana sebagian besar sudah punah
diganti oleh rumah-rumah mewah dan bangunan yang masih ada serta terawat sampai
sekarang adalah bangunan Masjid Jami Al Mansur. Masjid ini didirikan oleh Abdul
Mihit yaitu putra Pangeran Tjakrajaya sepupu dari Tumenggung Mataram, pada
tahun 1717. Karena letak arah kiblat Masjid ini tidak benar maka oleh H. Imam
Moh.
Arsjad Banjarmasin (pengarang kitab Sabilah Muhtadin) dengan
permufakatan bersama para ulama pada waktu itu maka letak arah kiblat dari
Masjid Al Mansur dibetulkan pada tanggal 1 Agustus 1767. Kemudian oleh K.H.
Moh. Mansur diadakan perluasan bangunan masjid dan untuk menjaga agar tempat
ibadah ini tetap terpelihara dengan baik berikut makam-makam para ulama/aulia
maka disekelilingnya dipagar dengan tembok pada tahun 1957. Dalam perjuangan
menentang penjajahan Belanda, masjid ini ikut pula berperan karena oleh K.H.
Moh Mansur masjid ini dijadikan pusat latihan penggemblengan mental para
pejuang yang akan bertempur menentang penjajahan Jepang dan Belanda.
Penduduk kelurahan Jembatan Lima yang mayoritas berasal dari kaum
pendatang, mereka memeluk berbagai macam agama. Menurut informasi yang kami
peroleh dari kelurahan Jembatan Lima, berdasarkan prosentase penduduk yang
menganut agama Islam ada 60%, Kristen Katholik 14%, Budha Hindu ada 25,75% dan
selebihnya menganut aliran kepercayaan. Walaupun menganut agama yang beragam
tetapi mereka sangat toleransi dalam kerukunan beragama.
Tradisi lama yang masih berlaku di Jembatan Lima, umumnya sama dengan
daerah-daerah lainnya diwilayah DKI Jakarta. Namun demikian daerah Jembatan
Lima ini mempunyai keunikan tersendiri terutama mengenai tata cara perkawinan
yang berlaku dikalangan keluarga Cina. Setelah mereka berpacaran kemudian
mereka berikrar akan bertunangan.
Dalam acara pertunangan (tukar cincin) diadakan pertemuan antara pihak
laki-laki dengan pihak perempuan dihadiri lebih dari sepuluh orang. sebagai
tanda pengikat pihak laki-laki akan memberikan kalung emas. sebulan sebelum
pernikahan dilakukan acara membesan, dari pihak laki-laki membawa 10 stel atau
selusin bahan pakaian, buah-buahan seperti apel, jeruk, kelengkeng dan makanan
seperti kue Kwoku, kue campur kacang tanah, kacang tanah, kwaci dan makanan
kaleng.
Perkawinan dilakukan di kantor Catatan Sipil tetapi bila hanya
perkawinan adat (dibawah tangan) cukup lapor ke kelurahan saja. Pesta
perkawinan biasanya dilangsungkan di rumah atau restoran. Kendaraan yang
dipakai oleh pengantin biasanya dihiasi dengan bunga, pita dan boneka. (dbs/ren)