PEWARTA-TAMBORA.COM, JAKARTA — Selain upaya pendidikan dan sosialisasi, penegakan hukum yang tegas juga merupakan faktor penting dalam mencegah kekerasan terhadap perempuan dan anak. Berbagai instrumen hukum, baik di tingkat nasional maupun internasional, telah mengatur tentang larangan dan sanksi terhadap tindak kekerasan. Namun, dalam praktiknya, masih terdapat banyak kasus kekerasan yang tidak terselesaikan secara tuntas karena lemahnya penegakan hukum.
Berdasarkan data dari Komnas Perempuan, pada tahun 2020 hanya 28% kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan berhasil ditindaklanjuti oleh pihak berwenang (Komnas Perempuan, 2021). Hal ini menunjukkan bahwa masih terdapat banyak kasus kekerasan yang luput dari proses hukum, sehingga pelaku tidak mendapatkan sanksi yang setimpal.
Untuk itu, pemerintah perlu melakukan upaya-upaya penegakan hukum yang lebih tegas dan konsisten. Hal ini dapat dilakukan melalui peningkatan kapasitas aparat penegak hukum, penyediaan sarana dan prasarana yang memadai, serta penerapan sanksi yang adil dan proporsional bagi pelaku kekerasan. Selain itu, pemerintah juga perlu memperkuat koordinasi dan kerjasama antar lembaga terkait, seperti kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan, untuk memastikan proses hukum berjalan dengan efektif.
Penegakan hukum yang tegas tidak hanya dapat memberikan efek jera bagi pelaku, tetapi juga dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap sistem peradilan. Hal ini pada akhirnya akan mendorong korban untuk berani melaporkan tindak kekerasan yang dialaminya, sehingga dapat dilakukan upaya-upaya pencegahan dan penanganan yang lebih komprehensif.
Contoh keberhasilan penegakan hukum yang tegas dalam mencegah kekerasan terhadap perempuan dan anak dapat dilihat dari pengalaman Provinsi Jawa Tengah, di mana pemerintah daerah bekerjasama dengan Kepolisian Daerah Jawa Tengah melakukan operasi khusus "Operasi Aman Nusantara" yang berhasil menurunkan angka kekerasan terhadap perempuan dan anak sebesar 40% dalam kurun waktu 1 tahun (Jatengprov.go.id, 2020).
Pengertian Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak Kekerasan terhadap perempuan dan anak didefinisikan sebagai "setiap tindakan berdasarkan jenis kelamin yang berakibat atau mungkin berakibat kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual atau psikologis, termasuk ancaman tindakan tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang, baik yang terjadi di ranah publik maupun dalam kehidupan pribadi" (Deklarasi PBB tentang Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan, 1993). Kekerasan terhadap anak didefinisikan sebagai "segala bentuk perlakuan menyakitkan secara fisik dan/atau emosional, penyalahgunaan seksual, penelantaran, eksploitasi komersial atau lainnya, yang mengakibatkan cedera atau kerugian nyata ataupun potensial terhadap kesehatan anak, kelangsungan hidup anak, tumbuh kembang anak, atau martabat anak, yang dilakukan dalam konteks hubungan tanggung jawab, kepercayaan, atau kekuasaan" (Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak).
Jenis-jenis Kekerasan
1. Kekerasan terhadap perempuan dan anak dapat terjadi dalam berbagai bentuk, yaitu: Kekerasan fisik: Tindakan yang mengakibatkan rasa sakit, cedera, atau cacat pada tubuh, seperti pemukulan, penganiayaan, dan penyiksaan.
2. Kekerasan seksual: Segala bentuk paksaan atau ancaman untuk melakukan hubungan seksual, pelecehan seksual, eksploitasi seksual, dan perkosaan.
3. Kekerasan psikologis: Tindakan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang, seperti ancaman, intimidasi, penghinaan, dan penelantaran.
4. Kekerasan ekonomi: Tindakan yang membatasi atau melarang korban untuk bekerja di dalam atau di luar rumah, memaksa korban bergantung secara ekonomi dengan cara mengendalikan akses terhadap sumber-sumber ekonomi.
Dampak Kekerasan terhadap Korban
Kekerasan terhadap perempuan dan anak dapat menimbulkan berbagai dampak negatif, baik secara fisik, psikologis, maupun sosial-ekonomi. Dampak fisik dapat berupa cedera, cacat, bahkan kematian. Dampak psikologis dapat berupa trauma, depresi, kecemasan, dan gangguan stres pasca-trauma. Dampak sosial-ekonomi dapat berupa isolasi sosial, ketergantungan, dan penurunan produktivitas (Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, 2016). Studi di Indonesia menunjukkan bahwa 28% perempuan yang pernah mengalami kekerasan fisik atau seksual mengalami gejala depresi, dan 29% mengalami gejala kecemasan (Badan Pusat Statistik, 2017).
Pencegahan Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak
Upaya Pencegahan Berbasis Masyarakat
Pencegahan kekerasan terhadap perempuan dan anak dapat dilakukan melalui berbagai upaya berbasis masyarakat. Salah satu contohnya adalah program "Desa Ramah Anak" yang dikembangkan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Program ini bertujuan untuk membangun lingkungan yang aman, nyaman, dan kondusif bagi tumbuh kembang anak dengan melibatkan seluruh komponen masyarakat, termasuk pemerintah desa, tokoh masyarakat, dan organisasi kemasyarakatan (Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, 2015). Selain itu, pembentukan pusat-pusat layanan terpadu bagi korban kekerasan juga dapat menjadi upaya pencegahan yang efektif (Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, 2016).
Pendidikan dan Penguatan Kapasitas
Upaya pencegahan juga dapat dilakukan melalui pendidikan dan penguatan kapasitas bagi perempuan dan anak. Pendidikan dapat diberikan dalam bentuk penyuluhan, pelatihan, dan kampanye publik untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang hak-hak perempuan dan anak, serta bahaya dan dampak kekerasan. Selain itu, penguatan kapasitas bagi perempuan dan anak juga penting untuk meningkatkan kemampuan mereka dalam mencegah dan menangani kekerasan, seperti pelatihan keterampilan hidup, pelatihan kepemimpinan, dan konseling (Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, 2016).
Reformasi Hukum dan Kebijakan
Upaya pencegahan kekerasan terhadap perempuan dan anak juga membutuhkan reformasi hukum dan kebijakan yang komprehensif. Hal ini mencakup penyempurnaan undang-undang dan peraturan terkait, penguatan penegakan hukum, serta penyediaan layanan perlindungan dan pemulihan bagi korban. Selain itu, kebijakan-kebijakan yang berperspektif gender dan ramah anak juga perlu dikembangkan di berbagai sektor, seperti pendidikan, kesehatan, dan ketenagakerjaan (Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, 2016).
Kolaborasi Multipihak
Pencegahan kekerasan terhadap perempuan dan anak membutuhkan kolaborasi multipihak, termasuk pemerintah, masyarakat sipil, sektor swasta, dan media. Pemerintah berperan dalam membuat kebijakan, menyediakan layanan, dan menegakkan hukum. Masyarakat sipil, termasuk organisasi perempuan dan anak, berperan dalam advokasi, pendampingan, dan pemberdayaan. Sektor swasta dapat berkontribusi melalui tanggung jawab sosial perusahaan, dan media dapat berperan dalam kampanye publik dan penyebaran informasi (Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, 2016).
Faktor Penyebab Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak
Faktor Individual
Salah satu faktor penyebab kekerasan terhadap perempuan dan anak adalah riwayat kekerasan di masa lalu. Studi menunjukkan bahwa individu yang pernah mengalami atau menyaksikan kekerasan dalam melaporkan tindakan kekerasan yang dialaminya, karena khawatir akan mendapat stigma atau perlakuan yang tidak adil dari masyarakat.
Faktor Sosial, Budaya, dan Ekonomi
Kemiskinan dan ketimpangan ekonomi juga dapat menjadi faktor penyebab kekerasan terhadap perempuan dan anak. Studi menunjukkan bahwa individu yang berasal dari keluarga dengan status sosial ekonomi rendah memiliki risiko yang lebih tinggi untuk menjadi pelaku atau korban kekerasan (Heise, 1998). Hal ini dapat disebabkan oleh stres dan frustasi yang dialami akibat kesulitan ekonomi, serta terbatasnya akses terhadap sumber daya dan layanan yang dapat membantu mencegah atau mengatasi situasi kekerasan (Farmer & Tiefenthaler, 1997). Selain itu, budaya patriarki yang masih kuat di beberapa masyarakat juga dapat menjadi faktor pendorong kekerasan, karena menempatkan perempuan dalam posisi yang lebih rendah dan rentan terhadap perlakuan yang diskriminatif dan abusif (Jewkes, 2002).
Kesimpulan
Kekerasan terhadap perempuan dan anak merupakan masalah kompleks yang dipengaruhi oleh berbagai faktor, mulai dari individual, relasional, komunitas, hingga faktor sosial, budaya, dan ekonomi. Pemahaman yang mendalam terhadap akar penyebab masalah ini sangat penting untuk merancang strategi pencegahan yang efektif dan komprehensif. Upaya-upaya tersebut harus melibatkan berbagai pemangku kepentingan, termasuk pemerintah, masyarakat sipil, dan sektor swasta, untuk dapat menciptakan lingkungan yang aman dan mendukung bagi perempuan dan anak.
Pencegahan kekerasan terhadap perempuan dan anak membutuhkan upaya komprehensif dan kolaboratif dari berbagai pihak. Upaya-upaya tersebut mencakup pembangunan masyarakat yang ramah perempuan dan anak, pendidikan dan penguatan kapasitas, reformasi hukum dan kebijakan, serta kolaborasi multipihak. Dengan komitmen dan kerja sama yang kuat, diharapkan kekerasan terhadap perempuan dan anak dapat dicegah dan dihapuskan di Indonesia.
Referensi:
Bandura, A. (1977). Teori pembelajaran sosial. Englewood Cliffs, NJ: Prentice-Hall.
Dutton, DG (2006). Memikirkan kembali kekerasan dalam rumah tangga. Pers UBC Vancouver.
Petani, A., & Tiefenthaler, J. (1997). Analisis ekonomi tentang kekerasan dalam rumah tangga. Tinjauan Sosial Ekonomi, 55(3), 337-358.
Heise, LL (1998). Kekerasan terhadap perempuan: kerangka ekologis yang terintegrasi. Kekerasan Terhadap Perempuan, 4(3), 262-290,
Yahudi, R. (2002). Kekerasan pasangan intim: penyebab dan pencegahan. Lancet, 359(9315), 1423-1429.
Badan Pusat Statistik. (2017). Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia 2017. Jakarta: Badan Pusat Statistik..
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. (2015). Pedoman Umum Desa Ramah Anak. Jakarta: Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. (2016). Strategi Nasional Pencegahan Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak. Jakarta: Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.
Perserikatan Bangsa-Bangsa. (1993). Deklarasi Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan. New York: Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Penulis: Efi Susilawati